Jatim - Menyiapkan generasi unggul dan berkualitas penting dilakukan sejak dini. Salah satunya lewat upaya preventif pada calon pengantin (CATIN) untuk menghadang atau mencegah bayi lahir stunting.
“Stunting sendiri merupakan suatu kondisi ketika anak mengalami gagal tumbuh kembang, “tumbuh” itu secara fisik, sementara “kembang” melibatkan faktor intelegensi, akibat kekurangan gizi kronik dan infeksi yang berulang.”
Hal itu disampaikan Kepala BKKBN Jawa Timur, Dra. Maria Ernawati, MM saat menjadi pembicara Talkshow “Bersinergi Mencegah dan Mengatasi Stunting untuk Generasi Unggul” yang diselenggarakan Bank Jatim bersama BPD Jawa Timur, di Main Atrium Ciputra World Mall, Kamis (7/11/2024).
“Calon pengantin harus mempersiapkan dirinya minimal 3 (tiga) bulan sebelum menikah. Secara fisik catin wanita perlu cek kesehatan, seperti kadar Hb agar tahu anemia atau tidak, kemudian harus dilihat indeks masa tubuhnya (IMT). Indikator lain yang bisa terlihat adalah ukuran lingkar lengan atas, jika kurang dari 23, 5 cm wanita berpotensi melahirkan bayi stunting, ” jelas Maria.
Untuk memantau kesehatan atau kesiapan fisik calon pengantin, BKKBN bekerjasama dengan Kemenag dan DP3AK menyiapkan program atau Aplikasi ELSIMIL (Aplikasi Elektronik Siap Nikah dan Hamil) yang dapat diunduh catin melalui Google Play Store.
Catin dapat mengisi data berat badan, tinggi badan, kadar Hb, dan lingkar lengan atas melalui ELSIMIL untuk mendeteksi risiko kesehatan calon pengantin.
“Apabila sudah memenuhi syarat, akan keluar sertifikat untuk menikah. Jika hasilnya belum sesuai, bukan berarti pemerintah menghalangi pernikahannya, boleh menikah, tetapi upayakan kehamilannya ditunda dulu dengan alat dan obat kontrasepsi yang BKKBN sudah siapkan, hingga calon ibu ini kondisi kesehatannya ideal untuk hamil dan melahirkan, ” imbuhnya.
Baca juga:
Babinsa Motivasi Pelaku Usaha Bengkel Mobil
|
Sementara bagi calon pengantin pria, Maria menganjurkan untuk menghindari rokok dan mengonsumsi mikromineral esensial zinc untuk meningkatkan kualitas sperma.
Disamping itu, BKKBN Jawa Timur bekerjasama dengan Tim Penggerak PKK memberikan edukasi pengasuhan anak kepada keluarga-keluarga muda melalui Program Sekolah Orang Tua Hebat (SOTH).
“Lewat SOTH kita berupaya untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan orang tua perihal pola asuh anak yang baik dan benar, termasuk edukasi asupan gizi seimbang sesuai tahap kehidupan anak. Seperti pemberian ASI Ekslusif sejak bayi lahir hingga usia 6 bulan, yang dilanjutkan hingga usia 2 tahun diiringi dengan MPASI, ” terang Maria.
“Intinya strategi kita dalam akslerasi penurunan stunting adalah menerapkan intervensi pada sasaran yang tepat, yaitu kepada keluarga risiko stunting yang terdiri dari ibu hamil, calon pengantin dan ibu balita, kita berikan pendampingan untuk mencegah terjadinya kasus stunting baru.
Turut hadir sebagai pembicara, Kepala DP3AK Jawa Timur, Dr. Tri Wahyu Liswati, M.Pd. Bersinergi dalam penurunan angka stunting, Tri Wahyu Liswati menjelaskan pihaknya berfokus pada upaya pencegahan dispensasi kawin untuk menurunkan angka pernikahan anak yang disinyalir menjadi salah satu penyumbang masih tingginya kasus stunting di Jawa Timur.
“Yang dimaksud dispensasi kawin, ketika usia anak kurang dari 19 tahun tetapi mau melakukan perkawinan, itu bisa dengan mengajukan dipensasi, ” terangnya.
Tri Wahyu mengungkapkan, dispensasi nikah di Jawa Timur paling banyak berasal dari kelompok anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP), disusul anak usia SMA, SD dan anak tidak sekolah. Sementara alasan yang paling banyak dikemukakan saat mengajukan dispensasi adalah menghindari hubungan seks sebelum menikah.
“Lebih dari 9.000 karena menghindari zina. Kalau hamil dulu (hamil diluar nikah), kondisi ekonomi yang kritis atau faktor kemiskinan dan adat budaya bukan faktor utama, ” sebutnya.
“Kita terus mengadvokasi agar anak-anak di Jawa Timur tidak mengajukan dispensasi kawin. Kita bersinergi dengan Dinas Pendidikan, memastikan wajib belajar 12 tahun bisa terlaksana. Dan memastikan anak tidak sekolah dan putus sekolah bisa masuk lagi ke bangku sekolah atau pelatihan sesuai passion untuk memberikan life skill kepada anak-anak ini, ”
Kita juga merapatkan barisan dengan organisasi wanita, organisasi masyarakat dan para pemuka agama untuk mengadvokasi bahwa untuk menghindari zina tidak hanya melalui dispensasi kawin tapi banyak aktifitas lain yang bisa anak-anak lakukan.
Menurut Tri Wahyu, saat usia seseorang kurang dari 19 tahun, artinya masih jauh dari kata siap baik secara fisik, psikis dan finansial untuk menikah.
“Si ibu ini belum siap kesehatan reproduksinya untuk hamil maupun melahirkan. Selain itu, kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, kematian ibu, kematian anak, itu resiko yang ditanggung jika memaksakan diri untuk menikah dan melahirkan sebelum 20 tahun, hingga berpotensi melahirkan anak stunting. Kalau terlanjur terjadi pernikahan, tundalah hamil dan melahirkan sampai usia 21 tahun, ” pungkasnya.@Red.